“Anak saya pergi, gapapa saya hidup sendiri, biar tidak merepotkan mereka” ujar salah satu lansia yang hidup sebatang kara.
Perkenalkan, namanya mbah Siti Maesaroh , usianya 80 tahun. Mbah Maesaroh tinggal sendiri di Mojokerto.
Seharinya Mbah Maesaroh menghabiskan waktunya untuk beribadah dan bersantai di teras rumah yang begitu mewah. Iya, bagi dirinya memang begitu mewah, karena di situlah tempat ia berlindung dan menghabiskan harinya.
Tak ada penghasilan tetap, namun Mbah Maesaroh tak bersedih dan tetap mensyukuri atas nikmat Allah, nikmat berupa kesehatan dan tetangga yang baik dengannya.
Rumah yang Mbah Maesaroh tinggali sudah ringkih, bahkan beberapa bagian atas rumahnya sudah patah dan atapnya bocor. Rasa takutpun dirasakan Mbah Maesaroh ketika hujan angin datang.
Mbah Maesaroh tidak bisa membayangkan, jika rumah yang ia jadikan tempat berlindung dari dinginnya angin malam dan derasnya air hujan justru malah membahayakan nyawanya.
Di usianya yang mulai renta, beliau tetap semangat mengajar mengaji anak-anak di desanya. Hebatnya, Mbah Sapeni melakukan itu semua secara sukarela. Ia tak meminta bayaran sepeser pun kepada setiap anak yang diajarinya mengaji. Alhasil, Mbah Sapeni kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena tak punya pendapatan.
Mbah Sapeni hanya ingin melihat semua anak di desanya lancar membaca Al-Quran dan menjadi pembuka jalannya menuju Surga kelak.
Ada juga mbah Sariyem, beban berat harus diemban Mbah Sariyem di usianya yang mulai renta. Beliau harus mengasuh keempat cucunya seorang diri karena Suami, anak, serta menantunya telah lama meninggal dunia. Mbah Sariyem bahkan harus selalu menemani si bungsu yang masih berusia 2 tahun.
Karena sibuk mengurus keempat cucunya, Mbah Sariyem tak punya waktu untuk bekerja. Tak banyak yang bisa dilakukan Mbah Sariyem di usia senja. Untuk kehidupan sehari hari beliau hanya mengandalkan bantuan dari tetangga dan saudara jauhnya.
Begitu juga Mbah Damang, hanya hidup sendiri tanpa ditemani anak atau cucunya. Beliau bukan hanya hidup sebatangkara, tapi juga tinggal di gubuk kecil dengan perlengkapan yang seadanya.
Gubuk kecil berukuran 2×3 meter menjadi satu-satunya pelindung Mbah Damang dari panas dan hujan. Tak hanya itu, rumah Mbah Damang terletak di antara semak belukar yang lebat dan jauh dari keramaian penduduk desa.
Parahnya lagi, Mbah Damang sama sekali belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah karena beliau tidak memiliki identitas resmi seperti KK dan KTP.
Tak banyak yang bisa diperbuat para lansia tersebut karena usianya yang mulai senja. Mereka tak punya banyak pilihan selain bertahan dengan keterbatasannya.
Mari bantu kebutuhan hidup Lansia dan Janda Dhuafa
Belum ada Fundraiser